Sunday 11 March 2012

PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DAN GAYA BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR DI GUGUS ERLANGGA KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA



 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak–anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto, 2004:10). Menurut PP no 19 tahun 2005 dan dipertegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Salah satu perwujudannya melalui pendidikan bermutu pada setiap satuan pendidikan di Indonesia. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif dalam tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui sikap kritis dan berpikir logis.
1
 
1
 
Menurut Mulyono Abdurrahman ( 2003 : 252 ), matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan–hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Alasan tentang pentingnya pembelajaran matematika kepada siswa adalah selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif (Puskur, 2002). Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika. Soedjadi (2004) menyatakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yaitu: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai obyek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Hasil matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata skor matematika siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional, yakni berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999). Rendahnya hasil matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika.
Sebenarnya tidak hanya siswa pendidikan dasar di Indonesia yang memiliki kemampuan yang rendah dalam penerapan matematika. Swoboda (2004) mengatakan bahwa siswa pendidikan dasar di Negara Polandia juga mengalami kesulitan dalam penerapan matematika antara lain konsep perbandingan. Selanjutnya dikatakan bahwa pada konferensi-konferensi internasional aspek-aspek baru pemahaman konsep perbandingan masih dirujuk (Swaboda, 2004)
Pada umumnya siswa, mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru di dalam kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna.
Namun, sampai saat ini masih banyak keluhan, baik dari orang tua siswa maupun pakar pendidikan matematika, tentang rendahnya kemampuan siswa dalam aplikasi matematika, khususnya penerapan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, masalah yang berkaitan dengan perbandingan senilai. Jika seorang petani membeli 12 kg pupuk urea seharga Rp 4500, maka berapa rupiah uang yang diperlukan untuk membeli sebanyak 72 kg pupuk? Banyak siswa kelas II SD yang mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut (Saragih, 2000).
Pada pembelajaran matematika juga ditemukan keragaman masalah sebagai berikut: 1) Keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran masih belum nampak, 2) Para siswa jarang mengajukan pertanyaan, walaupun guru sering meminta agar siswa bertanya jika ada hal-hal yang belum atau kurang paham, 3) Keaktifan siswa mengerjakan soal-soal latihan pada proses pembelajaran juga masih kurang, 4) Kurangnya keberanian siswa untuk mengerjakan soal di depan kelas.
Dalam pembelajaran matematika diharapkan siswa benar-benar aktif, sehingga akan berdampak pada ingatan siswa tentang apa yang dipelajari akan bertahan lebih lama. Suatu konsep akan mudah dipahami dan diingat oleh siswa bila konsep tersebut disajikan melalui prosedur dan langkah-langkah yang tepat, jelas dan menarik.
Pengamatan penulis menunjukkan bahwa hasil belajar siswa terhadap pelajaran matematika masih rendah. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa matematika sulit dan membosankan. Selain itu siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penulis akan mengujicobakan pendekatan pembelajaran yang diduga dapat memicu siswa untuk ikut serta secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yaitu pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Pendekatan pembelajaran ini lebih ditekankan pada pembelajaran matematika dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Dengan pendekatan pembelajaran ini, setiap siswa diberikan kesempatan untuk menemukan dan menerapkan konsep–konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari– hari atau masalah dalam bidang lain.
 Cooper dan Harries (2002) melaporkan hasil penelitian terhadap 121 anak-anak usia 11-12 tahun pada akhir tahun pertama mereka di sekolah menengah yang berasal dari dua sekolah menengah di Inggris Utara. Hasilnya menunjukkan ketidakmampuan mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan realistis ketika memecahkan masalah-masalah realistik.  Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.
Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu dicari suatu pendekatan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang dalam uji coba adalah pendekatan matematika realistik. selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah.Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real.  Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna.  Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.  Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000). 
Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika  Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari.  Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah  pembelajaran matematika realistik (MR). 
Belajar merupakan suatu aktivitas perubahan manusia untuk menjadi suatu yang lebih dari sebelumnya. Belajar merupakan perubahan pola pikir, pola rasa, dan pola tingkah laku. Manusia haus belajar untuk bisa mempertahankan hidupnya di dunia ini. Belajar juga merupakan sarana manusia untuk memahami ilmu ataupun segala sesuat yang berkaitan dengan penciptaan Tuhan. Melalui proses belajar manusia dapat memahami dan meyakini keberadaan pengaturNya. Proses belajar dalam penggalian ilmu merupakan suatu kewajiban bahkan suatu kebutuhan manusia yang dijadikan dasar dalam berperilaku dan beraplikasi terhadap suatu ilmu. Tuhan memberikan sarana berupa penglihatan, pendengaran, dan hati yang dapat dimanfaatkan manusia untuk belajar sepanjang hidup. Berpeganglah pada konsep ”Hidup untuk Belajar” bukan suatu konsep ”Belajar untuk hidup” di dalam menjalankan fitrah manusia sebagai hamba yang selalu mengabdi kepadaNya. Berkaitan dengan keharusan belajar atau mempelajari sesuatu hendaknya mengedepankan belajar secara tuntas dan tidak parsial. Belajar secara holistik melibatkan 4 prinsip belajar yaitu belajar konseptual atau teori (learning by thingking), belajar dengan melakukan (lerning by doing), belajar menjadi (lerning to be), dan belar hidup bersama atau komunitas (leraning life together). Prinsip belajar inilah yang akan menjadikan manusia sebagai manusia utuh terhadap suatu ilmu yang dipelajari dan diaplikasikannya didalam kehidupan.
Konsep belajar konseptual mengedepakan aspek berfikir logis didalam memahami sesuatu. Belajar ini lebih menonjolkan prinsip belajar teoritis pemahaman kognitif dalam diri manusia. Belajar dengan berfikir menjadi landasan dalam manusia untuk bertindak melakukan sesuatu. Belajar teoritis dapat dilakukan dengan aktivitas membaca buku, diskusi, brainstorming, dan studi literatur yang bersifat pengembangkan kualitas berfikir. Konsep belajar teoritis konseptual harus ditunjang dengan prinsip belajar melakukan. Belajar melakukan merupakan kegiatan belajar dengan langsung mempraktikkan sesuatu yang dipelajari. Belajar melakukan lebih pada suatu pendekatan kontekstual melakukan obyek yang dipelajari. Pengembangan belajar konseptual dan kontekstual harus diikuti dengan prinsip belajar menjadi (learning to be). Prinsip belajar menjadi atau learning to be adalah belajar menjadi diri sendiri yang menyatu dengan obyek yang dipelajari. Belajar ini menggali keunggulan dan kelemahan pribadi sehingga dapat melakukan suatu proses revitalisasi yang berulang untuk mencapai kesempurnaan pembelajaran sebuah ilmu. Sebagai pembungkus atau integritas dari ketiga konsep belajar tersebut harus selalu diseimbangkan dengan proses belajar berkomuniatas dengan orang lain (learning life together). Tingkatan belajar ini yang paling tinggi dari prinsip sebelumnya karena belajar berkomunitas merupakan suatu kualitas pembelajaran dalam mengabdikan dirinya dalam suatu komunitas kelompok yang membutuhkannya. Keempat prinsip belajar ini merupakan seuatu konsep belajar holistik integral yang tidak dapat dipisahkan. Belajar secara kafaf terhadap suatu bentuk dan jenis ilmu setidaknya berpijak pada keempatnya sehingga akan tercipta pemahaman konkret yang dapat dipergunakan dalam suatu petunjuk untuk melakukan aplikasi dari ilmu yang dipelajari.
Berkaitan dengan belajar tersebut, sebuah pemahaman akan didapatkan melalui suatu proses penerimaan sumber informasi dari obyek yang dipelajari. Peran dari mata, telinga, dan qolbu yang akan menentukan kemampuan manusia didalam meyerap informasi. Berbagai studi literatur dan ilmu pengetahuan telah menemukan suatu cara identifikasi dalam rangka mempermudah manusia untuk belajar. Metode itulah yang dinamakan dengan gaya belajar. Gaya belajar ini akan memberikan kemudahan-kemudahan berkaitan dengan perbedaan kemamupan dari manusia itu sendiri. Gaya belajar merupakan suatu model aktivitas perilaku dalam rangka untuk menerima informasi, menyimpan informasi, dan memanggil memeri dari sesuatu yang telah dipelajari. Gaya belajar menunjukkan intensitas sarana yang telah diberikan di dalam memahami suatu input dari kondisi di luar manusia. Manusia telah dianugrahi pendengaran, penglihatan , dan kemampuan berfikir di dalam memahami ilmuNya  yang ada di dalam semesta ini.
Bagi siswa yang bergaya belajar visual, yang memegang peranan penting adalah mata / penglihatan ( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak / dititikberatkan pada peragaan / media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis. Anak yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung untuk duduk di depan agar dapat melihat dengan jelas. Mereka berpikir menggunakan gambar-gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video. Di dalam kelas, anak visual lebih suka mencatat sampai detil-detilnya untuk mendapatkan informasi
Siswa yang bertipe auditori mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga ( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Anak yang mempunyai gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan. Anak auditori dapat mencerna makna yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang minim bagi anak auditori mendengarkannya. Anak-anak seperi ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.
Anak yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktifitas dan eksplorasi sangatlah kuat. Siswa yang bergaya belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan
Gaya belajar dapat menentukan hasil belajar anak. Jika diberikan strategi yang sesuai dengan gaya belajarnya, anak dapat berkembang dengan lebih baik. Gaya belajar otomatis tergantung dari orang yang belajar. Artinya, setiap orang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda tergantung dari aktivitas yang telah ada pada diri manusia. Tidak menutup kemungkinan apabila seorang pembelajar bisa mencapai suatu gaya belajar yang setimbang, tentunya dengan suatu usaha power untuk berproses mencari, menggali, dan mengaplikasikan dari ketiga model gaya belajar tersebut.

0 comments:

Post a Comment